Saturday 7 November 2015

BAB II -- bentuk Mal Administratif oleh pegawai negeri dalam perspektif hukum administrasi Negara dan hukum pidana

BAB II
LANDASAN TEORITIS

A.    Pengertian Mal Administratif
Istilah Mal Administratif diambil dari bahasa inggris “Mal Administration” yang diartikan tata usaha buruk; pemerintahan buruk. Kata administrative berasal dari bahasa latin “administrare” yang berarti to mange, devirasinya antara lain menjadi “Administratio” yang mengandung makna bersturing atau pemerintah. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, administrasi diartikan:
1.      Usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi;
2.      Usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan;
3.      Kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan; dan
4.      Kegiatan kantor dan tata usaha.
Dalam hukum administrasi Negara, administrasi adalah aparatur penyelenggara dan aktivitas-aktivitas penyelenggaraan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan, tugas-tugas, kehendak-kehendak dan tujuan-tujuan pemerintah atau Negara. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, mal administrasi tidak hanya diartikan sekedar penyimpangan terhadap hal tulis menulis, tata buku, procedural dan sebagainya. Namun Mal Administrasi diartikan lebih luas dan mencakup pada penyimpangan yang terjadi terhadap fungsi-fungsi pelayanan public atau pelayanan pemerintah yang dilakukan oleh setiap pejabat pemerintahan. Dengan kata lain, tindakan mal administrasi pejabat pemerintah atau pegawai negeri dapat merupakan perbuatan, sikap maupun prosedur dan tidak terbatas pada hal-hal administrasi atau tata usaha belaka.
Mal administrasi secara umum adalah perilaku yang tidak wajar, termasuk penundaan pemberian pelayanan, tidak sopan dan kurang peduli terhadap masalah yang menimpa seseorang yang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau diskriminatif dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan Undang-Undang atau fakta, tidak masuk akal atau berdasarkan tindakan yang tidak beralasan, menekan dan lain sebagainya.
Sadjijono mengartikan mal administrasi adalah suatu tindakan  atau perilaku administrasi oleh penyelenggara administrasi Negara (pejabat public atau pegawai negeri) dalam proses pemberian pelayanan umum yang menyimpang dan bertentangan dengan kaidah atau norma hukum yang berlaku atau melakukan penyalahgunaan wewenang yang atas tindakan tersebut menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi masyarakat, dengan kata lain melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan administrasi.
Didalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, dijelaskan mengenai pengertian mal administrasi yaitu: “mal administrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara Negara, pegawai negeri dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan”.
Berdasarkan pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No 37 Tahun 2008 tersebut, maka unsur-unsur dari pemenuhan suatu tindakan mal administrasi adalah:
1.      Perilaku atau perbuatan melawan hukum;
2.      Yang melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, atau termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
3.      Yang dilakukan oleh penyelenggara Negara (pegawai negeri) dan pemerintahan;
4.      Yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Dengan demikian, tindakan pejabat publik yang dapat dikategorikan telah memenuhi tindakan mal administrasi adalah:
1.      Meliputi semua tindakan yang dirasakan janggal karena melakukan tidak sebagaimana mestinya;
2.      Meliputi tindakan pejabat publik yang menyimpang;
3.      Meliputi tindakan pejabat publik yang melanggar ketentuan;
4.      Penyalahgunaan wewenang; dan
5.      Keterlambatan yang tidak perlu karena penundaan berlarut atas suatu kewajiban pemberian pelayanan publik.

B.     Bentuk-bentuk Mal Administratif
Bentuk dan jenis mal administrasi dapat ditemukan dalam buku panduan investigasi untuk ombudsman Indonesia yang ditulis Prof. Sunaryati Hartono, SH dan kawan-kawan terdiri dari dua puluh kategori. Dalam hal ini dapat diklasifikasikan menjadi enam kelompok berdasarkan kedekatan karakteristik sebagaimana ditulis dalam buku “Mengenal Ombudsman Indonesia” karangan Budhi Masthuri, SH sebagai berikut:
Kelompok pertama adalah bentuk-bentuk mal administrasi yang terkait dengan ketetapan waktu dalam proses pemberian pelayanan umum, terdiri dari tindakan penundaan berlarut, tidak menangani, dan melalaikan kewajiban.
1.      Penundaan berlarut
Dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat public khususnya pegawai negeri secara berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu sebagaimana ditentukan (secara patut) mengakibatkan pelayanan umum yang tidak ada kepastian.



2.      Tidak menangani
Seorang pejabat publik atau pegawai negeri sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya wajib dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
3.      Melalalaikan kewajiban
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat public atau pegawai negeri bertindak kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi tanggung jawabnya.
            Kelompok kedua adalah bentuk-bentuk mal administrasi yang mencerminkan keberpihakan sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi. Kelompok ini terdiri dari persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, dan nyata-nyata berpihak.
1.      Persekongkolan
Beberapa pejabat publik atau pegawai negeri yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan, kecurangan, melawan hukum sehingga masyarakat merasa tidak memperoleh pelayanan secara baik.
2.      Kolusi dan nepotisme
Dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat public atau pegawai negeri melakukan tindakan tertentu untuk mengutamakan keluarga/sanak family, teman dan kolega sendiri tanpa kriteria objektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan (tidak akuntabel), baik dalam hal pemberian pelayanan umum maupun untuk dapat duduk dijabatan atau posisi dalam lingkungan pemerintahan.
3.      Bertindak tidak adil
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik atau pegawai negeri melakukan tindakan memihak, melebihi, atau mengurangi dari yang sewajarnya sehingga masyarakat memperoleh pelayanan umum tidak sebagaimana mestinya.
4.      Nyata-nyata berpihak
Dalam proses pemberian pelayanan umum. Seorang pejabat publik atau pegawai negeri bertindak berat sebelah dan lebih mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan ketentuan berlaku sehingga keputusan yang diambil merugikan pihak lainnya.
      Kelompok ketiga adalah bentuk-bentuk mal administrasi yang lebih mencerminkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundangan. Kelompok ini terdiri dari pemalsuan, pelanggaran undang-undang dan perbuatan melawan hukum.
1.      Pemalsuan
Perbuatan meniru sesuatu secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan menguntungkan diri sendiri, orang lain dan/atau kelompok sehingga menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan umum secara baik.


2.      Pelanggaran undang-undang
Dalam proses pemberian pelayanan publik, seorang pejabat publik atau pegawai negeri secara sengaja melakukan tindakan menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundangan yang berlaku sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.
3.      Perbuatan melawan hukum
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan perbuatan bertentangan dengan ketentuan berlaku dan kepatutan sehingga merugikan masyarakat yang semestinya memperoleh pelayanan umum.
      Kelompok keempat adalah bentuk-bentuk mal administrasi yang terkait dengan kewenangan/kompetensi atau ketentuan yang berdampak pada kualitas pelayanan umum pejabat publik kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan diluar kompetensi, pejabat/pegawai negeri yang tidak kompeten menjalankan tugas, intervensi yang mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum, dan tindakan yang menyimpangi prosedur tetap.
1.      Diluar kompetensi
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik atau pegawai Negeri memutuskan sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.



2.      Tidak kompeten
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik atau pegawai Negeri tidak mampu atau tidak cakap dalam memutuskan sesuatu sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi tidak memadai (tidak cukup baik).
3.      Intervensi
Seorang pejabat publik atau pegawai Negeri melakukan campur tangan terhadap kegiatan yang bukan menjadi tugas dan kewenangannnya sehingga mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.
4.      Penyimpangan prosedur
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat public atau pegawai negeri tidak mematuhi tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan secara patut sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan umum secara baik.
      Kelompok kelima adalah bentuk-bentuk mal administrasi yang mencerminkan sikap arogansi seorang pejabat publik atau pegawai Negeri dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan yang tidak layak/tidak patut.
1.      Bertindak sewenang-wenang
Seorang pejabat publik atau pegawai Negeri menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, menjadikan pelayanan umum tidak dapat diterima secara baik oleh masyarakat.

2.      Penyalahgunaan wewenang
Seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) untuk keperluan yang tidak sepatutnya sehingga menjadikan pelayanan umum yang diberikan tidak sebagaimana mestinya.
3.      Bertindak tidak layak/tidak patut
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak patut, dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya.
            Kelompok keenam adalah bentuk-bentuk mal administrasi yang mencerminkan sebagai bentuk-bentuk korupsi secara aktif. Kelompok ini terdiri dari tindakan pemerasan atau permintaan imbalan uang (korupsi), tindakan penguasaan barang orang lain tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.
1.      Permintaan imbalan uang/korupsi
Dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat publik atau pegawai Negeri meminta imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dia lakukan (secara cuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya.
Seorang pejabat publik menggelapkan uang Negara, perusahaan (Negara), dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain sehingga menyebabkan pelayanan umum tidak dapat diberikan kepada masyarakat secara baik.


2.      Penguasaan tanpa hak
Seorang pejabat publik menguasai sesuatu yang bukan milik atau kepunyaannya secara melawan hak, padahal semestinya sesuatu tersebut menjadi bagian dari kewajiban pelayanan umum yang harus diberikan kepada masyarakat.
3.      Penggelapan barang bukti
Seorang pejabat publik atau pegawai Negeri terkait dengan proses penegakan hukum telah menggunakan barang, uang, dan sebagainya secara tidak sah, yang merupakan alat bukti suatu perkara. Akibatnya ketika pihak yang berperkara meminta barang bukti tersebut (misalkan setelah tuduhan tidak terbukti) pejabat publik terkait tidak dapat memenuhi kewajibannya.
      Tindakan mal administrasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan aparatur pemerintah termasuk pegawai negeri yang dikarenakan adanya:
a.       Miss conduct, yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan dengan kepentingan kantor. Contohnya: menggunakan mobil kantor untuk bisnis pribadi.
b.      Deceitful practice, praktek-praktek kebohongan, tidak jujur terhadap public. Masyarakat disuguhi informasi yang menjebak, informasi yang tidak sebenarnya, untuk kepentingan birokrat. Misalnya: jumlah korban kecelakaan kereta api 30 orang, tetapi diberitakan hanya 10 orang.
c.       Korupsi, yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, termasuk didalamnya mempergunakan kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan pemberian kewenangan, dan dengan tindakan tersebut untuk kepentingan memperkaya dirinya, orang lain, kelompok maupun kooperasi yang merugikan keuangan Negara.
d.      Defective policy implementation, yaitu kebijakkan yang tidak berakhir dengan implementasi. Keputusan-keputusan atau komitmen-komitmen politik hanya berhenti sampai pembahasan undang-undang atau penngesahan undang-undang, tetapi tidak sampai ditindaklanjuti menjadi kenyataan.
e.       Bureaupathologis, adalah penyakit-penyakit birokrasi. Yang termasuk penyakit-penyakit birokrasi ini antara lain:
1.      Indecision, tidak adanya keputusan yang jelas atas suatu kasus. Jadi suatu kasus yang pernah terjadi dibiarkan setengah jalan, atau dibiarkan mengambang, tanpa ada keputusan akhir yang jelas. Biasanya kasus-kasus seperti bila menyangkut sejumlah pejabat tinggi. Banyak sekali dalam praktik muncul kasus-kasus yang dipeti es kan.
2.      Red tape, ini penyakir birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara singkat.
3.      Cicumloution, penyakit para birokrasi yang terbiasa menggunakan kata-kata terlalu banyak. Banyak janji tetapi tidak ditepati. Kadang-kadang banyak kata-kata kontroversi anta relit yang sifatnya bisa membingungkan masyarakat.
4.      Rigidity, adalah penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari model pemisahan dan impersonality dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini nampak dalam pelayanan birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku menurut aturan, tanpa melihat kasus per kasus.
5.      Psycophancy, kecendrungan penyakit birokrasi untuk menjilat pada atasannya. Ada gejala asal bapak senang. Kecendrungan birokrat melayani individu atasannya, bukan melayani public dan hati nurani. Gejala ini bisa juga dikatakan loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada lembaga dan public.
6.      Over staffing, gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk pembengkakan staf. Terlalu banyak staf sehingga mengurangi efisiensi.
7.      Paperasserie, adalah kecendrungan birokrasi menggunakan banyak kertas, banyak formulir-formulir, banyak laporan-laporan, tetapi tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya fungsinya.
8.      Defective accounting, pemeriksaan keuangan yang cacat. Artinya pelaporan keuangan tidak sebagaimana mestinya, ada pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan mengelabuhi. Biasanya kesalahan dalam keuangan ini adalah mark up proyek keuangan.
Ada pendapat lain mengenai bentuk-bentuk mal administrasi yang dilakukan oleh birokrat atau pegawai negeri. Menurut Nigro ada 8 bentuk mal administrasi yaitu:
1.      Ketidakjujuran (dishonesty), berbagai tindakan ketidakjujuran antara lain: menggunakan barang public untuk kepentingan pribadi, menerima uang suap dan sebagainya.
2.      Perilaku yang buruk (unethical behavior), tindakan tidak etis  ini adalah tindakan yang mungkin tidak bersalah secara umum, tetapi melanggar etika sebagai administrator. Misalnya menitipkan anaknya pada panitian tes pegawai. Meskipun dia tidak pernah menyuruh supaya anaknya diterima, tetapi karena posisinya sebagai pejabat tindakan titip itu bisa diartikan sebagai perintah. Dengan demikian tindakan itu disebut tindakan yang tidak etis.
3.      Mengabaikan hukum (disregard of law), tindakan mengabaikan hukum mencakup juga tindakan menyepelekan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan kelompoknya. Misalnya: menangani proyek Negara oleh keluarganya sendiri tanpa melalui tender  terbuka termasuk tindakan mengabaikan hukum.
4.      Favoritisme dalam menafsirkan hukum, tindakan menafsirkan hukum untuk kepentingan kelompok, dan cenderung memilih penerapan hukum yang menguntungkan kelompoknya.
5.      Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai, tindakan ini cenderung ke perlakuan pimpinan kepada bawahannya berdasarkan faktor like dan dislike. yaitu orang yang disenangi cenderung mendapatkan fasilitas lebih, meski prestasinya tidak bagus. Sebaliknya untuk orang yang tidak disenangi cenderung diperlakukan terbatas.
6.      Inefisiensi bruto (Gross inefficiency) adalah kecendrungan suatu instansi publik memboroskan keuangan Negara
7.      Menutup-nutupi kesalahan, kecenderungan menutupi kesalahan dirinya, kesalalahan bawahannya, kesalahan instansinya dan menolak diliput kesalahannya.
8.      Gagal menunjukkan inisiatif, kecenderungan tidak berinisiatif tetapi menunggu perintah dari atas, meski secara peraturan memungkinkan dia untuk bertindak atau mengambil inisiatif kebijakan.
Memperhatikan bentuk dan jenis mal administrasi di atas, maka dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar mal administrasi tersebut yaitu:
a.       Mal Administrasi yang dikarenakan melanggar peraturan perundang-undangan, indikasi dari mal administrasi ini adalah mal administrasi yang terjadi karena adanya penyalahgunaan wewenang (korupsi), kolusi dan nepotisme. Perbuatan ini biasanya akan merugikan keuangan Negara/daerah untuk kepentingan pribadinya, kelompok atau golongannya.
b.      Mal Administrasi yang dikarenakan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, misalnya pelanggaran sumpah jabatan dan/atau kode etik seorang pegawai.

C.    Sebab-sebab Pegawai Negeri melakukan Mal Administratif
Mal administrasi merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari nilai etika. Secara “psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan mal administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk melakukan mal administrasi, maka tindakan mal administrasi juga tidak akan terjadi.
Dengan mengacu pada konsep tadi, maka dapat ditemukan dua faktor yang menjadi penyebab timbulnya tindakan mal administrasi. Pertama faktor internal yaitu faktor pribadi orang yang melakukan tindakan mal administrasi. Kedua faktor eksternal, yaitu faktor yang berada di luar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal administrasi, bisa lemahnya peraturan perundangan, lemahnya pelaksanaan pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan terbukanya kesempatan untuk melakukan tindakan mal administrasi.
1.      Faktor internal
Faktor internal berupa kepribadian seseorang. Faktor kepribadian ini berwujud suatu niat, kemauan, dorongan yang tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan mal administrasi. Faktor ini disebabkan oleh lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan mereka, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan suatu tindakan walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa tindakan yang akan mereka lakukan itu merupakan suatu tindakan yang tidak baik, tercela, buruk baik menurut nilai-nilai sosial, maupun menurut ajaran agama mereka. Namun karena rendahnya sikap mental mereka, dangkalnya keimanan dan keagamaan mereka, maka manakala ada kesempatan, ada niatan untuk melakukan tindakan mal administrasi dengan mudahnya mereka lakukan.
Faktor internal muncul banyak pula dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain faktor kebutuhan keluarga, kesempatan, lingkungan kerja, dan lemahnya pengawasan, dan lain sebagainya. Jika pada diri orang tersebut mempunyai sikap mental yang tinggi, keimanan dan keagamaan mereka juga tinggi, maka walaupun ada tuntutan kebutuhan keluarga, kesempatan melakukan selalu ada, lingkungan kerja memungkinkan, dan pengawasan sangat lemah, maka mereka tidak akan melakukan tindakan mal administrasi tadi. Karena mereka tahu dan yakin bahwa tindakan itu merupakan suatu tindakan yang buruk, tidak baik, tercela dan bahkan merupakan suatu tindakan yang berdosa.
2.      Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal administrasi, bisa berupa lemahnya peraturan, lemahnya lembaga control, lingkungan kerja dan lain sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan korupsi.
Peraturan perundangan dimana mereka bekerja, merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat untuk diikuti dan dipatuhi oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan tadi memberi kelonggaran bagi pegawainya untuk melakukan tindakan mal administrasi, karena peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, dan lain sebagainya, maka akan memberikan peluang (kesempatan) pegawai untuk melakukan tindakan mal administrasi tersebut. Misalnya walaupun telah ada peraturan perundangan anti korupsi yaitu UU No 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan UU No 11 tahun 1980 tentang pidana suap, namun peraturan perundangan tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi.
Dalam arti peraturan perundangan tadi masih belum banyak menjerat para pelaku korupsi. Hal ini disebabkan karena sulitnya untuk membuktikan tindakan korupsi, sehingga sulit untuk diproses sampai ke pengadilan. Belum lagi para pelaku korupsi yang telah menyiasati peraturan perundang-undangan tadi dengan menggunakan pendekatan cost and benefit analysis (analisis untung rugi) dalam melakukan tindakan korupsi.
Dalam arti antara hukuman yang diberikan dengan hasil korupsi yang dilakukan ternyata masih menguntungkan (hasil korupsi lebih besar daripada tuntutan atau ganjaran hukuman). Bahkan ada mekanisme banding yang dapat menunda hukuman, bisa melakukan kasasi, grasi, yang bisa jadi prosesnya cukup lama, sehingga memberi peluang bagi pelaku korupsi untuk menyiasati hasil korupsinya.
Lemahnya lembaga pengawasan (control) dalam melaksanakan tugasnya juga merupakan salah satu penyebab munculnya tindakan mal administrasi. Kendatipun lembaga pengawasan baik pengawasan politik, maupun pengawasan fungsional telah dibentuk, seperti DPR, BPK, BPKP, Irjen, Irwilprop, Irwilkab, Irwilkod, dan bahkan waskat, serta wasmas telah dibentuk dan berjalan, namun para pelaku dari lembaga tersebut masih dengan mudah untuk diatur, masih mau disuap, disogok dan sejenisnya, maka lembaga pengawasan (control) yang ada juga tidak akan mampu untuk melakukan pencegahan timbulnya tindakan mal administrasi yang ada dalam tubuh birokrasi publik.
Lingkungan kerja juga merupakan faktor penting untuk memberi peluang munculnya suatu tindakan mal administrasi. Lingkungan dimana kita berada akan mempengaruhi sifat dan perilaku kita. Bila kita berada pada lingkungan keras, akan membentuk sifat dan perilaku kita juga cenderung keras. Demikian pula bila kita berada pada lingkungan agamis, juga akan membentuk sifat dan perilaku kita cenderung agamis kita. Lingkungan kerja dimana kita bekerja yang menilai bahwa suatu tindakan yang menyimpang (korupsi misalnya) di anggap sesuatu yang wajar, maka akan membentuk dan memberi peluang perilaku yang menyimpang dari etika administrasi juga. Sebaliknya manakala lingkungan kerja cukup ketat, bahwa tindakan yang menyimpang (korupsi) dinilai sebagai suatu tindakan yang tidak baik, buruk dan tercela juga maka juga akan membentuk sikap, perilaku untuk tidak korup dan tidak akan memberi peluang munculnya tindakan yang korup.

D.    Dasar hukum tindak pidana Mal Administratif

E.     Perkembangan Mal Administratif
F.      Sanksi hukum terhadap pelaku Mal Administratifatau jabatan administrasi Negara
Ketetapan administrasi Negara yang diterbitkan oleh badan atau jabatan administrasi Negara yang bersifat intern maupun ektern yang ditujukan kepada seseorang atau badan hukum perdata menimbulkan hubungan hukum dan akibat hukum terhadap seseorang atau badan hukum perdata tersebut. Seseorang warga masyarakat atau seorang pegawai negeri sipil yang melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lahir berdasarkan hubungan hukum administrasi atau tata usaha Negara, maka pihak yang menerbitkannya yaitu badan atau jabatan administrasi Negara dapat melakukan sanksi administrative. Seorang PNS yang melanggar sumpah jabatannnya dapat diberhentikan dengan tidak hormat (pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974).
Indroharto mengutip pendapat Van Wijk/ W Konijenbelt mengenai pengertian sanksi administrative adalah merupakan sarana-sarana kekuatan menurut hukum public yang dapat diterapkan oleh badan atau jabatan administrasi Negara sebagai reaksi terhadap mereka yang tidak mentaati norma-norma hukum administrasi Negara. Selain sanksi administrative, juga dikenal sanksi-sanksi lainnnya yaitu:
a.       Tindakan penertiban
Badan atau jabatan administrasi Negara dapat melakukan penertiban (eksekusi riel) apabila terjadi pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang lahir dari hubungan hukum administrasi Negara, misalnya melanggar syarat-syarat yang ditentukan dalam surat izin atau melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan dasar (Undang-Undang). Tindakan penertiban merupakan bagian dari sanksi administrative. Dalam melakukan tindakan penertiban badan atau jabatan administrasi Negara dapat menetapkan:
-          Membebankan biaya penertiban atau biaya yang timbul akibat kelalaian.
-          Wewenang untuk menagih beban itu dengan upaya paksa (dwang bevel).
Ciri wewenang untuk melakukan penertiban bagi badan atau jabatan administrasi Negara adalah dapat melakukan penertiban tanpa didahului oleh putusan pengadilan. Pemberitahuan tertulis bahwa akan dilaksanakannya suatu tindakan penertiban, merupakan penetapan tertulis yang dapat digugat keabsahannya.
Cara tindakan penertiban dilaksanakan harus hati-hati, memperhatikan kepentingan semua pihak yang tersangkut. Dilakukan dengan cara paling murah, dan paling sedikit menimbulkan kerugian kepada pihak yang dikenakan sanksi. Hal ini merupakan asas “kecermatan materil dan asas-asas umum pemerintahan yang baik”.
b.      Eksekusi dibidang keuangan
Sanksi dibidang keuangan merupakan sanksi seketika (parate executie) yang lahir dari hubungan hukum admistrasi Negara.
c.       Pencabutan atau perubahan penetapan tertulis yang bersifat menguntungkan
Badan atau jabatan administrasi Negara menerapkan sanksi pencabutan atau perubahan suatu penetapan tertulis terhadap seseorang atau badan hukum perdata, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dan syarat-syarat yang terdapat dalam peraturan dasarnya.
d.      Sanksi-sanksi lainnya
Sanksi-sanksi lainnya antara lain:
1.      Sanksi administrative di bidang kepegawaian
Pejabat administrasi Negara (misalnya Gubernur propinsi) dapat menjatuhkan sanksi “pelanggaran disiplin” terhadap PNS yang melangggar ketentuan pasal 4 peraturan pemerintah Nomor 30 tahun 1980 yang menentukan “setiap ucapan tulisan atau perbuatan pegawai negeri sipil yang melangggar, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 adalah pelanggaran disiplin” sanksi pelangggaran disiplin tersebut berdasarkan pasal 6 bertingkat dari yang bersifat ringan, sedang dan berat.
2.      Sanksi pidana

No comments:

Post a Comment