BAB
II
LANDASAN
TEORITIS
A.
Pengertian
Mal Administratif
Istilah Mal
Administratif diambil dari bahasa inggris “Mal
Administration” yang diartikan tata usaha buruk; pemerintahan buruk. Kata administrative berasal dari bahasa latin
“administrare” yang berarti to mange, devirasinya antara lain
menjadi “Administratio” yang
mengandung makna bersturing atau
pemerintah. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, administrasi diartikan:
1. Usaha
dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara
penyelenggaraan pembinaan organisasi;
2. Usaha
dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai
tujuan;
3. Kegiatan
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan; dan
4. Kegiatan
kantor dan tata usaha.
Dalam hukum
administrasi Negara, administrasi adalah aparatur penyelenggara dan
aktivitas-aktivitas penyelenggaraan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan,
tugas-tugas, kehendak-kehendak dan tujuan-tujuan pemerintah atau Negara. Dalam
penyelenggaraan pemerintahan, mal administrasi tidak hanya diartikan sekedar
penyimpangan terhadap hal tulis menulis, tata buku, procedural dan sebagainya.
Namun Mal Administrasi diartikan lebih luas dan mencakup pada penyimpangan yang
terjadi terhadap fungsi-fungsi pelayanan public atau pelayanan pemerintah yang
dilakukan oleh setiap pejabat pemerintahan. Dengan kata lain, tindakan mal
administrasi pejabat pemerintah atau pegawai negeri dapat merupakan perbuatan,
sikap maupun prosedur dan tidak terbatas pada hal-hal administrasi atau tata
usaha belaka.
Mal administrasi
secara umum adalah perilaku yang tidak wajar, termasuk penundaan pemberian
pelayanan, tidak sopan dan kurang peduli terhadap masalah yang menimpa
seseorang yang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan
kekuasaan secara semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang
tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau diskriminatif dan tidak patut
didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan Undang-Undang atau fakta,
tidak masuk akal atau berdasarkan tindakan yang tidak beralasan, menekan dan
lain sebagainya.
Sadjijono
mengartikan mal administrasi adalah suatu tindakan atau perilaku administrasi oleh penyelenggara
administrasi Negara (pejabat public atau pegawai negeri) dalam proses pemberian
pelayanan umum yang menyimpang dan bertentangan dengan kaidah atau norma hukum
yang berlaku atau melakukan penyalahgunaan wewenang yang atas tindakan tersebut
menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi masyarakat, dengan kata lain
melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan administrasi.
Didalam pasal 1
angka 3 Undang-Undang No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia,
dijelaskan mengenai pengertian mal administrasi yaitu: “mal administrasi adalah
perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang
untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk
kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang dilakukan oleh penyelenggara Negara, pegawai negeri dan
pemerintahan yang menimbulkan kerugian materil dan/atau immaterial bagi
masyarakat dan orang perseorangan”.
Berdasarkan
pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No 37 Tahun 2008 tersebut, maka
unsur-unsur dari pemenuhan suatu tindakan mal administrasi adalah:
1. Perilaku
atau perbuatan melawan hukum;
2. Yang
melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang
menjadi tujuan wewenang tersebut, atau termasuk kelalaian atau pengabaian
kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
3. Yang
dilakukan oleh penyelenggara Negara (pegawai negeri) dan pemerintahan;
4. Yang
menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang
perseorangan.
Dengan demikian,
tindakan pejabat publik yang dapat dikategorikan telah memenuhi tindakan mal
administrasi adalah:
1. Meliputi
semua tindakan yang dirasakan janggal karena melakukan tidak sebagaimana
mestinya;
2. Meliputi
tindakan pejabat publik yang menyimpang;
3. Meliputi
tindakan pejabat publik yang melanggar ketentuan;
4. Penyalahgunaan
wewenang; dan
5. Keterlambatan
yang tidak perlu karena penundaan berlarut atas suatu kewajiban pemberian
pelayanan publik.
B.
Bentuk-bentuk
Mal Administratif
Bentuk dan jenis
mal administrasi dapat ditemukan dalam buku panduan investigasi untuk ombudsman
Indonesia yang ditulis Prof. Sunaryati Hartono, SH dan kawan-kawan terdiri dari
dua puluh kategori. Dalam hal ini dapat diklasifikasikan menjadi enam kelompok
berdasarkan kedekatan karakteristik sebagaimana ditulis dalam buku “Mengenal
Ombudsman Indonesia” karangan Budhi Masthuri, SH sebagai berikut:
Kelompok pertama
adalah bentuk-bentuk mal administrasi yang terkait dengan ketetapan waktu dalam
proses pemberian pelayanan umum, terdiri dari tindakan penundaan berlarut,
tidak menangani, dan melalaikan kewajiban.
1. Penundaan
berlarut
Dalam proses
pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat public khususnya
pegawai negeri secara berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu sehingga
proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu
sebagaimana ditentukan (secara patut) mengakibatkan pelayanan umum yang tidak
ada kepastian.
2. Tidak
menangani
Seorang pejabat
publik atau pegawai negeri sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya
wajib dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
3. Melalalaikan
kewajiban
Dalam proses
pemberian pelayanan umum, seorang pejabat public atau pegawai negeri bertindak
kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi tanggung
jawabnya.
Kelompok
kedua adalah bentuk-bentuk mal administrasi yang mencerminkan keberpihakan
sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi. Kelompok ini terdiri
dari persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, dan
nyata-nyata berpihak.
1. Persekongkolan
Beberapa pejabat
publik atau pegawai negeri yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan,
kecurangan, melawan hukum sehingga masyarakat merasa tidak memperoleh pelayanan
secara baik.
2. Kolusi
dan nepotisme
Dalam proses
pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat public atau pegawai
negeri melakukan tindakan tertentu untuk mengutamakan keluarga/sanak family, teman
dan kolega sendiri tanpa kriteria objektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan (tidak akuntabel), baik dalam hal pemberian pelayanan
umum maupun untuk dapat duduk dijabatan atau posisi dalam lingkungan
pemerintahan.
3. Bertindak
tidak adil
Dalam proses
pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik atau pegawai negeri melakukan
tindakan memihak, melebihi, atau mengurangi dari yang sewajarnya sehingga
masyarakat memperoleh pelayanan umum tidak sebagaimana mestinya.
4. Nyata-nyata
berpihak
Dalam proses
pemberian pelayanan umum. Seorang pejabat publik atau pegawai negeri bertindak
berat sebelah dan lebih mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan
ketentuan berlaku sehingga keputusan yang diambil merugikan pihak lainnya.
Kelompok ketiga adalah bentuk-bentuk mal
administrasi yang lebih mencerminkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum
dan peraturan perundangan. Kelompok ini terdiri dari pemalsuan, pelanggaran
undang-undang dan perbuatan melawan hukum.
1. Pemalsuan
Perbuatan meniru
sesuatu secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan menguntungkan
diri sendiri, orang lain dan/atau kelompok sehingga menyebabkan masyarakat
tidak memperoleh pelayanan umum secara baik.
2. Pelanggaran
undang-undang
Dalam proses
pemberian pelayanan publik, seorang pejabat publik atau pegawai negeri secara
sengaja melakukan tindakan menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundangan
yang berlaku sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.
3. Perbuatan
melawan hukum
Dalam proses
pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan perbuatan bertentangan
dengan ketentuan berlaku dan kepatutan sehingga merugikan masyarakat yang
semestinya memperoleh pelayanan umum.
Kelompok keempat adalah bentuk-bentuk mal
administrasi yang terkait dengan kewenangan/kompetensi atau ketentuan yang
berdampak pada kualitas pelayanan umum pejabat publik kepada masyarakat.
Kelompok ini terdiri dari tindakan diluar kompetensi, pejabat/pegawai negeri
yang tidak kompeten menjalankan tugas, intervensi yang mempengaruhi proses
pemberian pelayanan umum, dan tindakan yang menyimpangi prosedur tetap.
1. Diluar
kompetensi
Dalam proses
pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik atau pegawai Negeri memutuskan
sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya sehingga masyarakat tidak memperoleh
pelayanan secara baik.
2. Tidak
kompeten
Dalam proses
pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik atau pegawai Negeri tidak
mampu atau tidak cakap dalam memutuskan sesuatu sehingga pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat menjadi tidak memadai (tidak cukup baik).
3. Intervensi
Seorang pejabat publik
atau pegawai Negeri melakukan campur tangan terhadap kegiatan yang bukan
menjadi tugas dan kewenangannnya sehingga mempengaruhi proses pemberian
pelayanan umum kepada masyarakat.
4. Penyimpangan
prosedur
Dalam proses
pemberian pelayanan umum, seorang pejabat public atau pegawai negeri tidak
mematuhi tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan secara patut sehingga
masyarakat tidak memperoleh pelayanan umum secara baik.
Kelompok kelima adalah bentuk-bentuk mal
administrasi yang mencerminkan sikap arogansi seorang pejabat publik atau
pegawai Negeri dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.
Kelompok ini terdiri dari tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang,
dan tindakan yang tidak layak/tidak patut.
1. Bertindak
sewenang-wenang
Seorang pejabat
publik atau pegawai Negeri menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk
bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, menjadikan pelayanan umum tidak
dapat diterima secara baik oleh masyarakat.
2. Penyalahgunaan
wewenang
Seorang pejabat
publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) untuk
keperluan yang tidak sepatutnya sehingga menjadikan pelayanan umum yang
diberikan tidak sebagaimana mestinya.
3. Bertindak
tidak layak/tidak patut
Dalam proses
pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan sesuatu yang tidak
wajar, tidak patut, dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak mendapatkan
pelayanan sebagaimana mestinya.
Kelompok
keenam adalah bentuk-bentuk mal administrasi yang mencerminkan sebagai bentuk-bentuk
korupsi secara aktif. Kelompok ini terdiri dari tindakan pemerasan atau
permintaan imbalan uang (korupsi), tindakan penguasaan barang orang lain tanpa
hak, dan penggelapan barang bukti.
1. Permintaan
imbalan uang/korupsi
Dalam proses
pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat publik atau pegawai
Negeri meminta imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya
dia lakukan (secara cuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya.
Seorang pejabat
publik menggelapkan uang Negara, perusahaan (Negara), dan sebagainya untuk
kepentingan pribadi atau orang lain sehingga menyebabkan pelayanan umum tidak
dapat diberikan kepada masyarakat secara baik.
2. Penguasaan
tanpa hak
Seorang pejabat
publik menguasai sesuatu yang bukan milik atau kepunyaannya secara melawan hak,
padahal semestinya sesuatu tersebut menjadi bagian dari kewajiban pelayanan
umum yang harus diberikan kepada masyarakat.
3. Penggelapan
barang bukti
Seorang pejabat
publik atau pegawai Negeri terkait dengan proses penegakan hukum telah
menggunakan barang, uang, dan sebagainya secara tidak sah, yang merupakan alat
bukti suatu perkara. Akibatnya ketika pihak yang berperkara meminta barang
bukti tersebut (misalkan setelah tuduhan tidak terbukti) pejabat publik terkait
tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Tindakan mal administrasi adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan aparatur pemerintah termasuk pegawai negeri
yang dikarenakan adanya:
a. Miss conduct,
yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan dengan kepentingan kantor.
Contohnya: menggunakan mobil kantor untuk bisnis pribadi.
b. Deceitful practice,
praktek-praktek kebohongan, tidak jujur terhadap public. Masyarakat disuguhi
informasi yang menjebak, informasi yang tidak sebenarnya, untuk kepentingan
birokrat. Misalnya: jumlah korban kecelakaan kereta api 30 orang, tetapi
diberitakan hanya 10 orang.
c. Korupsi,
yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, termasuk
didalamnya mempergunakan kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan pemberian
kewenangan, dan dengan tindakan tersebut untuk kepentingan memperkaya dirinya,
orang lain, kelompok maupun kooperasi yang merugikan keuangan Negara.
d. Defective policy implementation,
yaitu kebijakkan yang tidak berakhir dengan implementasi. Keputusan-keputusan
atau komitmen-komitmen politik hanya berhenti sampai pembahasan undang-undang atau
penngesahan undang-undang, tetapi tidak sampai ditindaklanjuti menjadi
kenyataan.
e. Bureaupathologis,
adalah penyakit-penyakit birokrasi. Yang termasuk penyakit-penyakit birokrasi
ini antara lain:
1. Indecision,
tidak adanya keputusan yang jelas atas suatu kasus. Jadi suatu kasus yang
pernah terjadi dibiarkan setengah jalan, atau dibiarkan mengambang, tanpa ada
keputusan akhir yang jelas. Biasanya kasus-kasus seperti bila menyangkut
sejumlah pejabat tinggi. Banyak sekali dalam praktik muncul kasus-kasus yang
dipeti es kan.
2. Red tape,
ini penyakir birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang
berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara
singkat.
3. Cicumloution,
penyakit para birokrasi yang terbiasa menggunakan kata-kata terlalu banyak. Banyak
janji tetapi tidak ditepati. Kadang-kadang banyak kata-kata kontroversi anta
relit yang sifatnya bisa membingungkan masyarakat.
4. Rigidity,
adalah penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari model pemisahan dan
impersonality dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini nampak dalam
pelayanan birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku menurut
aturan, tanpa melihat kasus per kasus.
5. Psycophancy,
kecendrungan penyakit birokrasi untuk menjilat pada atasannya. Ada gejala asal
bapak senang. Kecendrungan birokrat melayani individu atasannya, bukan melayani
public dan hati nurani. Gejala ini bisa juga dikatakan loyalitas pada individu,
bukan loyalitas pada lembaga dan public.
6. Over staffing,
gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk pembengkakan staf. Terlalu banyak
staf sehingga mengurangi efisiensi.
7. Paperasserie,
adalah kecendrungan birokrasi menggunakan banyak kertas, banyak
formulir-formulir, banyak laporan-laporan, tetapi tidak pernah dipergunakan
sebagaimana mestinya fungsinya.
8. Defective accounting,
pemeriksaan keuangan yang cacat. Artinya pelaporan keuangan tidak sebagaimana
mestinya, ada pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan mengelabuhi. Biasanya
kesalahan dalam keuangan ini adalah mark up proyek keuangan.
Ada pendapat lain
mengenai bentuk-bentuk mal administrasi yang dilakukan oleh birokrat atau
pegawai negeri. Menurut Nigro ada 8 bentuk mal administrasi yaitu:
1. Ketidakjujuran
(dishonesty), berbagai tindakan
ketidakjujuran antara lain: menggunakan barang public untuk kepentingan
pribadi, menerima uang suap dan sebagainya.
2. Perilaku
yang buruk (unethical behavior),
tindakan tidak etis ini adalah tindakan
yang mungkin tidak bersalah secara umum, tetapi melanggar etika sebagai
administrator. Misalnya menitipkan anaknya pada panitian tes pegawai. Meskipun
dia tidak pernah menyuruh supaya anaknya diterima, tetapi karena posisinya
sebagai pejabat tindakan titip itu bisa diartikan sebagai perintah. Dengan
demikian tindakan itu disebut tindakan yang tidak etis.
3. Mengabaikan
hukum (disregard of law), tindakan
mengabaikan hukum mencakup juga tindakan menyepelekan hukum untuk kepentingan
dirinya sendiri, atau kepentingan kelompoknya. Misalnya: menangani proyek
Negara oleh keluarganya sendiri tanpa melalui tender terbuka termasuk tindakan mengabaikan hukum.
4. Favoritisme
dalam menafsirkan hukum, tindakan menafsirkan hukum untuk kepentingan kelompok,
dan cenderung memilih penerapan hukum yang menguntungkan kelompoknya.
5. Perlakuan
yang tidak adil terhadap pegawai, tindakan ini cenderung ke perlakuan pimpinan
kepada bawahannya berdasarkan faktor like
dan dislike. yaitu orang yang
disenangi cenderung mendapatkan fasilitas lebih, meski prestasinya tidak bagus.
Sebaliknya untuk orang yang tidak disenangi cenderung diperlakukan terbatas.
6. Inefisiensi
bruto (Gross inefficiency) adalah
kecendrungan suatu instansi publik memboroskan keuangan Negara
7. Menutup-nutupi
kesalahan, kecenderungan menutupi kesalahan dirinya, kesalalahan bawahannya,
kesalahan instansinya dan menolak diliput kesalahannya.
8. Gagal
menunjukkan inisiatif, kecenderungan tidak berinisiatif tetapi menunggu
perintah dari atas, meski secara peraturan memungkinkan dia untuk bertindak
atau mengambil inisiatif kebijakan.
Memperhatikan
bentuk dan jenis mal administrasi di atas, maka dapat dikategorikan menjadi dua
kelompok besar mal administrasi tersebut yaitu:
a. Mal
Administrasi yang dikarenakan melanggar peraturan perundang-undangan, indikasi
dari mal administrasi ini adalah mal administrasi yang terjadi karena adanya
penyalahgunaan wewenang (korupsi), kolusi dan nepotisme. Perbuatan ini biasanya
akan merugikan keuangan Negara/daerah untuk kepentingan pribadinya, kelompok
atau golongannya.
b. Mal
Administrasi yang dikarenakan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik,
misalnya pelanggaran sumpah jabatan dan/atau kode etik seorang pegawai.
C.
Sebab-sebab
Pegawai Negeri melakukan Mal Administratif
Mal administrasi
merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari nilai etika. Secara
“psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan
karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat
untuk melakukan tindakan mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka
tindakan mal administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan
untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk
melakukan mal administrasi, maka tindakan mal administrasi juga tidak akan
terjadi.
Dengan mengacu
pada konsep tadi, maka dapat ditemukan dua faktor yang menjadi penyebab
timbulnya tindakan mal administrasi. Pertama faktor internal yaitu faktor
pribadi orang yang melakukan tindakan mal administrasi. Kedua faktor eksternal,
yaitu faktor yang berada di luar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal
administrasi, bisa lemahnya peraturan perundangan, lemahnya pelaksanaan
pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan terbukanya kesempatan untuk
melakukan tindakan mal administrasi.
1. Faktor
internal
Faktor internal
berupa kepribadian seseorang. Faktor kepribadian ini berwujud suatu niat,
kemauan, dorongan yang tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan
tindakan mal administrasi. Faktor ini disebabkan oleh lemahnya mental
seseorang, dangkalnya agama dan keimanan mereka, sehingga memudahkan mereka
untuk melakukan suatu tindakan walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa tindakan
yang akan mereka lakukan itu merupakan suatu tindakan yang tidak baik, tercela,
buruk baik menurut nilai-nilai sosial, maupun menurut ajaran agama mereka.
Namun karena rendahnya sikap mental mereka, dangkalnya keimanan dan keagamaan
mereka, maka manakala ada kesempatan, ada niatan untuk melakukan tindakan mal
administrasi dengan mudahnya mereka lakukan.
Faktor internal
muncul banyak pula dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain faktor
kebutuhan keluarga, kesempatan, lingkungan kerja, dan lemahnya pengawasan, dan
lain sebagainya. Jika pada diri orang tersebut mempunyai sikap mental yang
tinggi, keimanan dan keagamaan mereka juga tinggi, maka walaupun ada tuntutan
kebutuhan keluarga, kesempatan melakukan selalu ada, lingkungan kerja
memungkinkan, dan pengawasan sangat lemah, maka mereka tidak akan melakukan
tindakan mal administrasi tadi. Karena mereka tahu dan yakin bahwa tindakan itu
merupakan suatu tindakan yang buruk, tidak baik, tercela dan bahkan merupakan
suatu tindakan yang berdosa.
2. Faktor
eksternal
Faktor eksternal
adalah faktor yang berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal
administrasi, bisa berupa lemahnya peraturan, lemahnya lembaga control,
lingkungan kerja dan lain sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk
melakukan tindakan korupsi.
Peraturan
perundangan dimana mereka bekerja, merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat
untuk diikuti dan dipatuhi oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan
kewajiban yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan tadi memberi kelonggaran
bagi pegawainya untuk melakukan tindakan mal administrasi, karena peraturannya
tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, dan lain sebagainya, maka akan
memberikan peluang (kesempatan) pegawai untuk melakukan tindakan mal
administrasi tersebut. Misalnya walaupun telah ada peraturan perundangan anti
korupsi yaitu UU No 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
dan UU No 11 tahun 1980 tentang pidana suap, namun peraturan perundangan
tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi.
Dalam arti
peraturan perundangan tadi masih belum banyak menjerat para pelaku korupsi. Hal
ini disebabkan karena sulitnya untuk membuktikan tindakan korupsi, sehingga
sulit untuk diproses sampai ke pengadilan. Belum lagi para pelaku korupsi yang
telah menyiasati peraturan perundang-undangan tadi dengan menggunakan pendekatan
cost and benefit analysis (analisis
untung rugi) dalam melakukan tindakan korupsi.
Dalam arti
antara hukuman yang diberikan dengan hasil korupsi yang dilakukan ternyata
masih menguntungkan (hasil korupsi lebih besar daripada tuntutan atau ganjaran
hukuman). Bahkan ada mekanisme banding yang dapat menunda hukuman, bisa
melakukan kasasi, grasi, yang bisa jadi prosesnya cukup lama, sehingga memberi
peluang bagi pelaku korupsi untuk menyiasati hasil korupsinya.
Lemahnya lembaga
pengawasan (control) dalam melaksanakan
tugasnya juga merupakan salah satu penyebab munculnya tindakan mal
administrasi. Kendatipun lembaga pengawasan baik pengawasan politik, maupun
pengawasan fungsional telah dibentuk, seperti DPR, BPK, BPKP, Irjen, Irwilprop,
Irwilkab, Irwilkod, dan bahkan waskat, serta wasmas telah dibentuk dan
berjalan, namun para pelaku dari lembaga tersebut masih dengan mudah untuk
diatur, masih mau disuap, disogok dan sejenisnya, maka lembaga pengawasan (control) yang ada juga tidak akan mampu
untuk melakukan pencegahan timbulnya tindakan mal administrasi yang ada dalam
tubuh birokrasi publik.
Lingkungan kerja
juga merupakan faktor penting untuk memberi peluang munculnya suatu tindakan
mal administrasi. Lingkungan dimana kita berada akan mempengaruhi sifat dan perilaku
kita. Bila kita berada pada lingkungan keras, akan membentuk sifat dan perilaku
kita juga cenderung keras. Demikian pula bila kita berada pada lingkungan
agamis, juga akan membentuk sifat dan perilaku kita cenderung agamis kita.
Lingkungan kerja dimana kita bekerja yang menilai bahwa suatu tindakan yang
menyimpang (korupsi misalnya) di anggap sesuatu yang wajar, maka akan membentuk
dan memberi peluang perilaku yang menyimpang dari etika administrasi juga.
Sebaliknya manakala lingkungan kerja cukup ketat, bahwa tindakan yang
menyimpang (korupsi) dinilai sebagai suatu tindakan yang tidak baik, buruk dan
tercela juga maka juga akan membentuk sikap, perilaku untuk tidak korup dan
tidak akan memberi peluang munculnya tindakan yang korup.
D. Dasar
hukum tindak pidana Mal Administratif
E. Perkembangan
Mal Administratif
F. Sanksi
hukum terhadap pelaku Mal Administratifatau jabatan administrasi Negara
Ketetapan
administrasi Negara yang diterbitkan oleh badan atau jabatan administrasi
Negara yang bersifat intern maupun ektern yang ditujukan kepada seseorang atau
badan hukum perdata menimbulkan hubungan hukum dan akibat hukum terhadap
seseorang atau badan hukum perdata tersebut. Seseorang warga masyarakat atau
seorang pegawai negeri sipil yang melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lahir
berdasarkan hubungan hukum administrasi atau tata usaha Negara, maka pihak yang
menerbitkannya yaitu badan atau jabatan administrasi Negara dapat melakukan
sanksi administrative. Seorang PNS yang melanggar sumpah jabatannnya dapat
diberhentikan dengan tidak hormat (pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974).
Indroharto
mengutip pendapat Van Wijk/ W Konijenbelt mengenai pengertian sanksi
administrative adalah merupakan sarana-sarana kekuatan menurut hukum public
yang dapat diterapkan oleh badan atau jabatan administrasi Negara sebagai
reaksi terhadap mereka yang tidak mentaati norma-norma hukum administrasi
Negara. Selain sanksi administrative, juga dikenal sanksi-sanksi lainnnya
yaitu:
a. Tindakan
penertiban
Badan atau
jabatan administrasi Negara dapat melakukan penertiban (eksekusi riel) apabila
terjadi pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang lahir dari hubungan hukum
administrasi Negara, misalnya melanggar syarat-syarat yang ditentukan dalam
surat izin atau melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan
dasar (Undang-Undang). Tindakan penertiban merupakan bagian dari sanksi
administrative. Dalam melakukan tindakan penertiban badan atau jabatan
administrasi Negara dapat menetapkan:
-
Membebankan biaya penertiban atau biaya
yang timbul akibat kelalaian.
-
Wewenang untuk menagih beban itu dengan
upaya paksa (dwang bevel).
Ciri wewenang
untuk melakukan penertiban bagi badan atau jabatan administrasi Negara adalah
dapat melakukan penertiban tanpa didahului oleh putusan pengadilan.
Pemberitahuan tertulis bahwa akan dilaksanakannya suatu tindakan penertiban,
merupakan penetapan tertulis yang dapat digugat keabsahannya.
Cara tindakan
penertiban dilaksanakan harus hati-hati, memperhatikan kepentingan semua pihak
yang tersangkut. Dilakukan dengan cara paling murah, dan paling sedikit
menimbulkan kerugian kepada pihak yang dikenakan sanksi. Hal ini merupakan asas
“kecermatan materil dan asas-asas umum pemerintahan yang baik”.
b. Eksekusi
dibidang keuangan
Sanksi dibidang
keuangan merupakan sanksi seketika (parate executie) yang lahir dari hubungan
hukum admistrasi Negara.
c. Pencabutan
atau perubahan penetapan tertulis yang bersifat menguntungkan
Badan atau
jabatan administrasi Negara menerapkan sanksi pencabutan atau perubahan suatu
penetapan tertulis terhadap seseorang atau badan hukum perdata, apabila terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan dan syarat-syarat yang terdapat dalam peraturan
dasarnya.
d. Sanksi-sanksi
lainnya
Sanksi-sanksi
lainnya antara lain:
1. Sanksi
administrative di bidang kepegawaian
Pejabat
administrasi Negara (misalnya Gubernur propinsi) dapat menjatuhkan sanksi
“pelanggaran disiplin” terhadap PNS yang melangggar ketentuan pasal 4 peraturan
pemerintah Nomor 30 tahun 1980 yang menentukan “setiap ucapan tulisan atau
perbuatan pegawai negeri sipil yang melangggar, ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 dan pasal 3 adalah pelanggaran disiplin” sanksi pelangggaran
disiplin tersebut berdasarkan pasal 6 bertingkat dari yang bersifat ringan,
sedang dan berat.
2. Sanksi
pidana
No comments:
Post a Comment